Pelajaran dari burung Hud-hud
Hud-hud, si burung kecil yang menjadi salah satu bala tentara Nabi Sulaiman, berinisiatif terbang ke negeri Saba’, tanpa perintah Sulaiman. Selaku pemimpin, Sulaiman tentu gusar atas kepergian Hud-Hud yang tidak diketahuinya. Ia bahkan mengancam akan memberi hukuman keras atas Hud-hud karena sikapnya itu. Sulaiman kemudian berupaya menanyakan kemana gerangan Hud-Hud pergi.
Tak lama, Hud-Hud muncul. Sebagai atasan, Sulaiman melakukan pengecekan (mutaba’ah), kemana ia tidak nampak sejak tadi. Tapi Hud-Hud bukan tipe prajurit sembarangan, apalagi suka menyia-nyiakan amanah. Hud-Hud mungkin malah sudah siap dengan segala alasan syar’I, alasan struktural (tandzimi), dan alasan konsepsi (minhaji). Secara syar’I, inisiatifnya untuk pergi meninggalkan Sulaiman sang komandan bukan untuk urusan maksiat. Secara struktural, ia mengamalkan sikap prajurit yang kreatif, mencari hal-hal yang bermanfaat bagi Sulaiman. Sedangkan secara minhaji, ia telah melakukan pengamatan tentang perilaku ratu Saba’ dan kaumnya yang bertentangan dengan misi aqidah Sulaiman.
Hud-Hud memang prajurit yang cerdas. Ia sangat mengerti akan misinya menyebarkan da’wah tauhid kepada seluruh penduduk bumi. Bermula dari inisiatif Hud-Hud itu, di kemudian hari terjadi peristiwa besar. Ratu Saba’ tunduk dan mengikuti agama tauhid Sulaiman. Hud-Hud telah melakukan tugas dengan baik, serius dan keberaniannya menanggung risiko.
Tiga hal yang dapat dipetik dari sikap Hud Hud, pertama, seorang prajurit harus memiliki inisitaif dan kreatifitas dengan menimbang kemaslahatan yang ada. Tak ada yang harus merasa kecil, karena Hud-Hud pun seekor burung kecil. Selama tidak keluar dari koridor misi dakwah yang telah ditimbang risikonya, seorang prajurit tetap dituntut melakukan inisiatif dan kreatifitas, tanpa harus menunggu komando.
Kedua, seorang pimpinan, meski berwawasan luas, harus sadar bahwa tidak semua persoalan ia ketahui dengan baik. Sulaiman adalah Nabi yang dikaruniai Allah mampu memahami bahasa binatang dan jin, tapi toh dia tidak mengetahui keberadaan negeri Saba’ yang masih tenggelam dalam syirik kepada Allah.
Ketiga, sepintas yang dilakukan Hud-Hud adalah pekerjaan sepele, hanya menyaksikan sekelompok kaum yang menyembah matahari. Tapi Hud-Hud memiliki sudut pandang yang tajam. Ia mampu memandang fenomena itu dari sisi lain. Hud Hud menyampaiakan informasi yang diperolehnya dengan baik, argumentatif, dan meyakinkan kepada sang pemimpin (nabi Sulaiman) hingga akhirnya menyebabkan Ratu Saba’ beriman. (Tarbawi, edisi 7 th I maret 03) /SM.
Tak lama, Hud-Hud muncul. Sebagai atasan, Sulaiman melakukan pengecekan (mutaba’ah), kemana ia tidak nampak sejak tadi. Tapi Hud-Hud bukan tipe prajurit sembarangan, apalagi suka menyia-nyiakan amanah. Hud-Hud mungkin malah sudah siap dengan segala alasan syar’I, alasan struktural (tandzimi), dan alasan konsepsi (minhaji). Secara syar’I, inisiatifnya untuk pergi meninggalkan Sulaiman sang komandan bukan untuk urusan maksiat. Secara struktural, ia mengamalkan sikap prajurit yang kreatif, mencari hal-hal yang bermanfaat bagi Sulaiman. Sedangkan secara minhaji, ia telah melakukan pengamatan tentang perilaku ratu Saba’ dan kaumnya yang bertentangan dengan misi aqidah Sulaiman.
Hud-Hud memang prajurit yang cerdas. Ia sangat mengerti akan misinya menyebarkan da’wah tauhid kepada seluruh penduduk bumi. Bermula dari inisiatif Hud-Hud itu, di kemudian hari terjadi peristiwa besar. Ratu Saba’ tunduk dan mengikuti agama tauhid Sulaiman. Hud-Hud telah melakukan tugas dengan baik, serius dan keberaniannya menanggung risiko.
Tiga hal yang dapat dipetik dari sikap Hud Hud, pertama, seorang prajurit harus memiliki inisitaif dan kreatifitas dengan menimbang kemaslahatan yang ada. Tak ada yang harus merasa kecil, karena Hud-Hud pun seekor burung kecil. Selama tidak keluar dari koridor misi dakwah yang telah ditimbang risikonya, seorang prajurit tetap dituntut melakukan inisiatif dan kreatifitas, tanpa harus menunggu komando.
Kedua, seorang pimpinan, meski berwawasan luas, harus sadar bahwa tidak semua persoalan ia ketahui dengan baik. Sulaiman adalah Nabi yang dikaruniai Allah mampu memahami bahasa binatang dan jin, tapi toh dia tidak mengetahui keberadaan negeri Saba’ yang masih tenggelam dalam syirik kepada Allah.
Ketiga, sepintas yang dilakukan Hud-Hud adalah pekerjaan sepele, hanya menyaksikan sekelompok kaum yang menyembah matahari. Tapi Hud-Hud memiliki sudut pandang yang tajam. Ia mampu memandang fenomena itu dari sisi lain. Hud Hud menyampaiakan informasi yang diperolehnya dengan baik, argumentatif, dan meyakinkan kepada sang pemimpin (nabi Sulaiman) hingga akhirnya menyebabkan Ratu Saba’ beriman. (Tarbawi, edisi 7 th I maret 03) /SM.